HAK YANG TERLUPAKAN
Siapakah pelukis wajah Pahlawan Nasional asal Sumatera Selatan - Sultan
Mahmud Badaruddin II - yang tercetak dalam lembaran uang sepuluh ribu
rupiah? Siapakah pembuat sketsa Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel
Indonesia ataupun Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng?
Siapakah pencipta lagu Hyme Guru? Bagaimanakah nasib mereka saat ini?
Tamu Kick Andy kali ini adalah para pembuat karya tersebut, tetapi
mereka memiliki hak yang terlupakan.
Sumatera Selatan, tepatnya Palembang memberikan sumbangsih pada
tampilan lembaran mata uang RI dengan nilai pecahan Sepuluh Ribu
Rupiah. Pada salah satu sisinya, memuat gambar sebuah Rumah Limas yaitu
rumah adat tradisional khas Palembang. Sedangkan pada sisi lain dari
uang kertas keluaran tahun 2005 ini, memuat gambar seorang Pahlawan
nasional asal Sumatera Selatan Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II).
Lantas siapakah pelukis wajah pahlawan tersebut? Dia adalah Eden Nur Arifin,
putera asli Palembang. Pria 68 tahun ini begitu piawai melukis
berbagai jenis objek. Hingga 30 tahun yang lalu, akhirnya ia memenangkan
lomba melukis wajah SMB II. September 2005, Eden mendaftarkan karyanya
dan berhasil menjadi pemegang hak cipta dari lukisan Sultan ini. Namun
Eden sempat memperkarakan kasus beredarnya hasil karyanya tersebut
dalam tampilan uang kertas. Menurutnya ia tidak mendapat izin
penggunaan akan karyanya, hingga akhirnya jalan pengadilan pun
ditempuh. Meski akhirnya Eden kalah. Saat liputan, bahkan Team Kick
Andy juga menemukan fakta bahwa lukisan asli (pertama) yang telah
dipatenkan dan menjadi aset daerah tetapi disengketakan antara Pemprov
Sumatera Selatan, Eden, dan Bank Indonesia ini, hingga saat rekaman
belum ditemukan keberadaannya.
Siapa yang tak mengenal patung sepasang muda mudi yang melambaikan tangan, berdiri tegak di jantung Ibukota Jakarta, di depan Hotel Indonesia? Ikon ibukota yang populer sebagai pusat tempat berekspresi dan berorasi ini, adalah salah sebuah dari ratusan rancang sketsa karya Hendrik Hermans Joel Ngantung, atau yang biasa dipanggil Henk Ngantung. Pria kelahiran Bogor, 1 Maret 1921 - yang dikenal sebagai seniman birokrat ini, pada masa revolusi sering dianggap sebagai wartawan sketsa. Gambar sketsa Perundingan Linggar Jati, Perundingan Renville, Henk Ngantung lah pembuatnya. Bermodalkan pengetahuan seni dan citra estetika, telah membawanya diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Wakil Kepala Daerah Kotapraja Jakarta dari tahun 1962 – 1964. Henk kemudian diangkat menjadi gubernur, tetapi tuduhan keterlibatannya dengan LEKRA pada peristiwa September 1965, membuatnya diturunkan dari jabatan 1965. Meski pernah menjadi orang nomor satu di Jakarta, namun Henk yang meninggalkan tiga orang anak dan seorang istri, Evie Ngantung, tetap hidup dalam kesederhanaan, bahkan jauh dari kata cukup. yang tinggal di sebuah rumah sederhana yang terletak di Gang Jambu, Cawang Jakarta Timur.
Dari Kota Madiun, 30 tahun yang lalu lahir sebuah lagu yang menjadi ode untuk profesi mulia, seorang pengajar - Hymne Guru. Sartono, pria kelahiran tahun 1936 ini selepas bekerja dari perusahaan musik dan piringan hitam Lokananta - bergabung bersama kelompok musik milik tentara di Madiun. Nasib membawanya kemudian menjadi seorang guru di SMPK St. Bernadus Madiun pada tahun 1985. Lomba membuat lagu untuk guru yang dimenangkannya, tidak serta merta menyejahterakan kehidupannya. Untuk mengirimkan naskah lagunya saat itu pun Sartono yang selama 24 tahun menyandang status honorer ini, harus menjual jas dan celana di pasar loak. Meski menjalani hidup yang serba kesempitan dan tidak dikaruniai keturunan, pasangan Sartono dan Damijati, istri yang dinikahinya dari tahun 1970 ini, tak membuat keduanya lantas meratapi hidup. Saat fisiknya masih kuat, Sartono menambal periuk nasinya lewat mengajar musik juga membimbing kelompok kulintang di berbagai instansi. Saat ini hidup pasangan lansia ini bergantung dari hasil pensiun istrinya, perempuan tangguh yang juga mantan guru ini masih lincah dan menawan di pentas ketoprak Kridho Taruno sebagai pemain dan pemimpinnya. Dalam kesederhanaan abadinya, Sartono yang lebih sering mendapatkan penghargaan hanya berupa piagam ini, sudah dua tahun bertahan dengan sakit tuanya. Perhatian dari istri yang setia mendampingi dan siapapun yang peduli pada nasibnya pasti memberi kebahagiaan di usia senjanya.
Siapa yang tak mengenal patung sepasang muda mudi yang melambaikan tangan, berdiri tegak di jantung Ibukota Jakarta, di depan Hotel Indonesia? Ikon ibukota yang populer sebagai pusat tempat berekspresi dan berorasi ini, adalah salah sebuah dari ratusan rancang sketsa karya Hendrik Hermans Joel Ngantung, atau yang biasa dipanggil Henk Ngantung. Pria kelahiran Bogor, 1 Maret 1921 - yang dikenal sebagai seniman birokrat ini, pada masa revolusi sering dianggap sebagai wartawan sketsa. Gambar sketsa Perundingan Linggar Jati, Perundingan Renville, Henk Ngantung lah pembuatnya. Bermodalkan pengetahuan seni dan citra estetika, telah membawanya diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Wakil Kepala Daerah Kotapraja Jakarta dari tahun 1962 – 1964. Henk kemudian diangkat menjadi gubernur, tetapi tuduhan keterlibatannya dengan LEKRA pada peristiwa September 1965, membuatnya diturunkan dari jabatan 1965. Meski pernah menjadi orang nomor satu di Jakarta, namun Henk yang meninggalkan tiga orang anak dan seorang istri, Evie Ngantung, tetap hidup dalam kesederhanaan, bahkan jauh dari kata cukup. yang tinggal di sebuah rumah sederhana yang terletak di Gang Jambu, Cawang Jakarta Timur.
Dari Kota Madiun, 30 tahun yang lalu lahir sebuah lagu yang menjadi ode untuk profesi mulia, seorang pengajar - Hymne Guru. Sartono, pria kelahiran tahun 1936 ini selepas bekerja dari perusahaan musik dan piringan hitam Lokananta - bergabung bersama kelompok musik milik tentara di Madiun. Nasib membawanya kemudian menjadi seorang guru di SMPK St. Bernadus Madiun pada tahun 1985. Lomba membuat lagu untuk guru yang dimenangkannya, tidak serta merta menyejahterakan kehidupannya. Untuk mengirimkan naskah lagunya saat itu pun Sartono yang selama 24 tahun menyandang status honorer ini, harus menjual jas dan celana di pasar loak. Meski menjalani hidup yang serba kesempitan dan tidak dikaruniai keturunan, pasangan Sartono dan Damijati, istri yang dinikahinya dari tahun 1970 ini, tak membuat keduanya lantas meratapi hidup. Saat fisiknya masih kuat, Sartono menambal periuk nasinya lewat mengajar musik juga membimbing kelompok kulintang di berbagai instansi. Saat ini hidup pasangan lansia ini bergantung dari hasil pensiun istrinya, perempuan tangguh yang juga mantan guru ini masih lincah dan menawan di pentas ketoprak Kridho Taruno sebagai pemain dan pemimpinnya. Dalam kesederhanaan abadinya, Sartono yang lebih sering mendapatkan penghargaan hanya berupa piagam ini, sudah dua tahun bertahan dengan sakit tuanya. Perhatian dari istri yang setia mendampingi dan siapapun yang peduli pada nasibnya pasti memberi kebahagiaan di usia senjanya.
No comments:
Post a Comment